BADAN Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa batasan umur menikah bagi perempuan adalah 21 tahun dan bagi laki-laki 25 tahun. Seseorang yang menikah idealnya yaitu pada usia 21-25 tahun bagi perempuan dan 25-30 tahun untuk laki-laki. Hal tersebut karena dianggap pasangan yang menikah pada usia tersebut sudah memiliki kesiapan yang matang dalam hal fisik maupun fisiologis, serta sudah matang untuk menjalani kehidupan berumah tangga serta sudah memiliki pemikiran yang dewasa dalam bertindak atau memutuskan sesuatu dalam urusan rumah tangga.
Indonesia berada pada peringkat ke delapan pada kasus pernikahan dini di dunia, dimana satu dari sembilan perempuan menikah sebelum menginjak usia delapan belas tahun. Sedangkan secara statistic Kalimantan Tengah pada tahun 2020 – 2022 menempati peringkat pertama dalam presentase ibu menurut propinsi dan kelompok umur perkawinan pertama. Pada tahun 2020 terdapat 40,73% ibu yang menikah dengan usia kurang dari 19 tahun, sebesar 39,39% pada tahun 2021 dan 37,81% pada tahun 2022 (Profil Kesehatan Ibu dan Anak, 2022).
Hasil penelitian menyebutkan pernikahan dini terjadi dengan bermacam penyebab di antaranya karena kesulitan ekonomi, pendidikan yang rendah, paksaan dari orang tua, kehamilan di luar pernikahan dan karena adat istiadat dari masyarakat setempat. Faktor pertama yang mempengaruhi pernikahan dini pada remaja perempuan yaitu karena budaya dan adat istiadat setempat. Budaya yang dimaksud bisa terjadi karena orang tuanya dulu menikah pada usia dini, sehingga kemudian terjadi juga pada anak perempuannya. Jika hal tersebut terus terjadi maka akan menjadi sebuah budaya terus menerus.
Pernikahan dini yang terjadi pada usia remaja tentu menimbulkan berbagai persoalan dari berbagai sisi seperti masa remaja yang selalu ingin mencoba-coba sesuatu yang menantang adrenalin, walaupun kadang mereka kurang mengetahui bahwa dampak perbuatan tersebut dapat mempengaruhi masa depan mereka. Pendidikan rendah, pengetahuan yang minim, dan sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak akan mempengaruhi pendapatan ekonomi keluarga. Terlebih jika mereka menikah di usia muda karena keterlanjuran berhubungan seksual yang menyebabkan suatu kehamilan, adanya penolakan keluarga karena rasa malu, hal ini dapat menimbulkan stress berat pada ibu hamil muda.
Kehamilan usia muda/remaja adalah kehamilan yang terjadi pada remaja putri berusia kurang dari 20 tahun. Kurangnya pengetahuan tentang waktu yang aman untuk melakukan hubungan seksual mengakibatkan terjadi kehamilan remaja, yang sebagian besar tidak dikehendaki. Kehamilan akan menempatkan remaja dalam situasi yang serba salah dan memberikan tekanan batin (stres) tertentu. Kehamilan pada usia dini dapat menyebabkan keguguran, persalinan premature, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kelainan bawaan, anemia kehamilan, keracunan kehamilan dan risiko kematian yang tinggi baik pada ibu maupun pada bayi. Hal ini disebabkan pada usia dini organ reproduksi belum cukup matang untuk proses kehamilan dan persalinan.
Pada proses pengasuhan anak, ibu yang berusia sangat muda memiliki beban dan tanggung jawab yang besar dan sulit untuk dihadapi. Hal ini akan menjadi tekanan tertentu bagi ibu. Secara psikologis usia muda belum cukup untuk menanggung beban tersebut sehingga ibu dengan usia sangat muda akan berisiko mengalami gangguan psikologis. Van Lieshout RJ, et al (2020) dalam penelitiannya menyebutkan ibu muda berisiko 2-4 kali lebih besar mengalami gangguan kecemasan (gangguan kecemasan umum, gangguan kecemasan perpisahan, fobia sosial, dan fobia spesifik), gangguan defisit perhatian/hiperaktif, gangguan pemberontak oposisi, gangguan perilaku dan lebih mungkin untuk memiliki lebih dari satu masalah kejiwaan dibandingkan ibu dengan usia lebih tua. Cresswell L, Faltyn M, Lawrence C, Tsai Z, Owais S, Savoy C, Lipman E, Van Lieshout RJ (2022) melakukan penelitian dengan tujuan menguji risiko gangguan mental pada anak yang lahir dari ibu dengan usia muda. Hasil penelitian menunjukkan anak yang lahir dari ibu usia muda memiliki lebih banyak masalah kognitif, eksternalisasi dan internalisasi sepanjang usianya daripada individu yang lahir dari ibu berusia lebih dari 21 tahun.
Berbagai macam dampak kehamilan dan persalinan usia dini yang telah dijabarkan diatas tentu menjadi alasan kuat perlunya edukasi pencegahan pernikahan usia dini diberikan pada remaja. Hal ini memerlukan upaya bersama dengan berbagai sektor. Beberapa upaya yang terbukti cukup efektif diantaranya menyediakan sarana pendidikan formal yang memadai dan terjangkau bagi semua kalangan, menggalakkan sosialisasi pendidikan seks di sekolah maupun lingkungan social, meningkatkan pemberdayaan masyarakat agar lebih paham bahaya pernikahan dini, dukungan dan peran pemerintah seperti dalam pencatatan pernikahan dan kelahiran serta mendorong terciptanya kesetaraan gender sehingga persepsi dan ekspektasi masyarakat terhadap peran domestic tidak hanya ditujukan pada perempuan namun membutuhkan peran dan tanggung jawab bersama. Hal ini juga sebagai upaya meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas generasi di masa yang akan datang. (*)